KEMARIN. Saat masih kuliah, semester tiga kalau tidak salah, untuk pertama kalinya (anggap saja begitu) aku membaca sebuah buku.
Bukan buku teori atau buku biografi seseorang. Tapi novel bergambar, Diary si Bocah Tengil yang aku pinjam dari Puput, adik perempuanku.
Tak butuh waktu lama, aku menyelesaikannya dalam waktu semalam. Aku ketagihan membaca dan mulai mengumpulkan buku-buku serupa.
Saat berjalan-jalan ke toko buku untuk mencari serial keenam Diary si Bocah Tengil, entah mengapa aku malah memungut buku yang menurutku menarik, tertera tulisan "kumpulan cerpen absurd" pada sampulnya.
Buku itu berjudul Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa (SKTLA). Aku menuju meja kasir untuk membayar buku itu lalu membawanya pulang.
Sebelum merobek bungkus plastik yang merekat pada buku itu, aku sudah membayangkan isi cerita di dalamnya pasti tidak jauh beda dengan yang ada pada Diary si Bocah Tengil, lucu dan menggelikan.
Saat membalik halaman demi halaman SKTLA, aku sadar kalau frame of reference-ku tentang cerpen begitu dangkal. Selama ini, interpretasiku mengenai cerpen ialah sekumpulan tulisan yang terdapat di Majalah Bobo.
Cerita yang ada di SKTLA berbanding terbalik dengan apa yang kuketahui tentang cerpen.
Dahiku mulai mengerut dan mataku berkunang-kunang, serasa ada yang menghantam kepalaku dengan pukul besi. Buku yang baru kubeli itu membuat pusing bukan kepalang.
Aku menutup buku itu, menarik napas sedalam mungkin lalu mengeluarkannya secara perlahan. Membuka kembali dan melanjutkan membaca, aku harus tahan, gumamku dalam hati.
Tak terasa aku sudah sampai di halaman kesepuluh, cerpen kedua dari SKTLA yang berjudul Kristallnacht.
Narasi yang super sedikit diikuti dengan dialog yang begitu panjang membuat kerutan pada dahiku bertambah satu tingkat.
Ceritanya ditulis dengan format wawancara layaknya percakapan dalam kehidupan nyata, hal itu jelas baru bagiku.
Aku ingin berteriak "wow!" tetapi masih bingung bagian mana yang membuat tulisan itu terlihat keren.
Pada saat aku membaca cerpen kesepuluh yang berjudul Ro-Kok, aku ingin sekali berkomentar tentang unsur intrinsik yang terdapat di dalamnya. Namun sekali lagi, pemahamanku tentang dunia cerpen masih sangat minim.
Tema yang diangkat sebenarnya sangat enteng, tentang seorang lelaki yang diminta kekasihnya untuk berhenti merokok.
Akan tetapi sang penulis membuat ceritanya semakin kompleks dengan menanamkan semacam pemikiran idealis pada tokoh yang ia ciptakan, membuatku menanyakan kembali apa arti kata absurd yang sebenarnya.
Jam Kerja merupakan cerita favoritku dari keempat belas cerpen berbahasa Indonesia (ada juga lima cerpen yang ditulis dalam bahasa Inggris dan dianggap bonus oleh sang penulis) yang terdapat di SKTLA.
Ceritanya tergolong unik, tentang pria pekerja kantoran, melamun membayangkan hal yang tak mungkin digapainya.
Ketika membacanya, aku jadi ingat pengalamanku berfanstasi dengan gadis cantik, kakak kelasku ketika SMP.
Aku menguap menahan kantuk ketika selesai membaca SKTLA, tapi tidak langsung tidur.
Aku menyalakan komputer dan mulai mencari tahu siapa sebenarnya Maggie Tiojakin, penulis buku kumpulan cerpen absurd itu.
Aku mengetikkan namanya pada mesin pencari, dan menemukan fiksilotus.com, situs yang menampung lebih banyak tulisannya.
Ternyata, selain menulis cerpen, ia juga pandai menerjemahkan cerpen luar negeri ke dalam Bahasa Indonesia.
Anyway, informasi dan cerita tanggung pada buku kumpulan cerpen Selama Kita Tersesat di Luar Angkasa membuatku ingin mengetahui lebih banyak tentang proses menulis.
Alam bawah sadarku seakan-akan digerakkan oleh SKTLA supaya bisa menulis.
Dua tahun kemudian, setelah membaca SKTLA untuk kesekian kalinya, aku mendatangi kantor Ketua Prodi Ilmu Komuikasi, Universitas Mulawarman.
Aku berniat mengajukan judul untuk tesis penelitianku. Dari tiga judul yang kusodorkan ke hadapanya, ia memberi lingkaran pada judul: Analisis Wacana Terhadap Gaya Hidup Remaja Dalam Novel Diary of A Wimpy Kid Karya Jeff Kinney. Lantas, aku pun mulai menulis. Hna
Posting Komentar