R7ZiNLx3KC2qKMr3lC8fGnzuEqDGM1kXB8IvxLhQ
Bookmark

Mencampur Canda, Tawa, dan Keceriaan pada Segelas Magic Summer

KEMARIN. Senang rasanya bisa menulis lagi. Padahal postingan ini harus sudah tuntas dua bulan lalu. Sibuk mengurusi segala tetek bengek Bengkuring Bakery Street membuat aku menunda-nunda agenda menulis.

Terlebih, baru-baru ini Mamak mendapat musibah tak terduga, yang sepenuhnya tak bisa dituang ke dalam postingan ini.

Terasa benar kata orang kalau menulis hanya bisa dilakukan dalam keadaan mood yang bagus.

Apalagi ketika melihat Mamak bersedih, duduk sendiri di sofa ruang tamu, aku merasa hidup seperti kerupuk bawang yang sengaja disobek bungkusnya, didiamkan sampai menyusut lantaran diterpa angin; melempem, layat, menciptakan nyeri saat digigit.

BTW, itung-itung mengubah ke-galau-an menjadi energi positif, Kamis sore lalu aku bersedia menemani Neng dan kawannya membeli buku untuk melengkapai persyaratan ujian skripsi.

Entah kenapa, Neng yang seangkatan denganku di bangku kuliah masih saja doyan ngerjain skripsi.

Padahal ia mulai menulis skripsinya sekitar 2 atau 3 tahun lalu. Bersamaan dengan pembangunan flyover Juanda (flyover pertama di Samarinda).

Mirisnya, flyover tersebut sekarang sudah rampung, bahkan sudah retak lagi dan Neng (masih) ngerjain skripsi.

Meski harus bertemu dengan penjaga toko buku super annoying, pada akhirnya Neng mendapat buku yang dia mau.

Kemudian aku mengajak mereka ke Cafe Cinnemon. Membunuh rasa penasaran, mencari keceriaan pada segelas mocktail khas Magic Summer.


Magic Summer Drink

Sengaja diberi nama Magic Summer. Mungkin masih ada hubungan kerabat dengan gingerbeer di Harry Potter. Atau mungkin (masih terhitung spekulasi), nama Magic Summer diambil dari keisengan si pembuat saat hari panas dan saat itu sedang libur panjang.





Entahlah, semua itu masih terbilang mungkin.

Magic Summer menyajikan mocktail. Bagiku, mocktail adalah sesuatu yang baru. Berbeda dengan cocktail (saudara seperguruannya), mocktail cenderung tidak memabukkan, non-alkohol.

Meski cara membuatnya hampir mirip: mencampur sari buah atau jus buah dengan susu serta minuman bersoda ringan.

Lantas, apa yang membedakan mocktail dengan soda gembira? Pertanyaan retorik, tak perlu dijawab.

Seperti yang aku bilang sebelumnya, booth Magic Summer ada di dalam Cafe Cinnemon: Jalan Pramuka 5A, Samarinda.

Kami sampai di sana sekitar jam setengah 6 sore. Duduk di barisan hampir pojok, seorang waiter dengan jilbab coklat melingkar di lehernya berjalan menghampiri kami bersama buku menu yang sedang ia peluk.

Waiter tersebut meletakan buku menu di atas meja dengan santun. Aku bertanya mengenai Magic Summer. Ia bilang kalau bartender-nya belum datang, mungkin sebentar lagi. Oke, aku bisa menunggu.

Beberapa saat kemudian, saat sore hampir pudar digantikan dengan keelokan senja, aku melihat seorang lelaki mengendarai vespa antik menuju halaman parkir.

Masih spekulasi, mungkin itu si bartender. Dan ternyata benar. Aku pun menentukan pilihan.

Sambil menunggu, Neng tengah sibuk menepuk nyamuk di atas kepalaku yang botak.

Tak lama, waiter tadi datang lagi dengan sajian yang kami pesan: sepiring tela-tela, pisang katsu, dan dua gelas mocktail khas Magic Summer.

Terdecak kagum, ternyata mocktail khas Magic Summer memiliki keunikan tersendiri.

Aku paling suka mocktail yang mereka beri nama Lion Roar.


Rasa melon dan orange yang bercampur bersama susu segar. Hmm!



Gradasi warna hijau dan oranye yang terbalut dalam putihnya susu membuat minuman itu tampak spektakuler. Lalu, bagaimana dengan rasanya?

Sumpah, aku belum pernah menegak hidangan macam ini sebelumnya. Selain enak dan segar, soda dan susu menciptakan rasa manis sekaligus asam yang memanjakan lidah.

Oke, mungkin pendapatku bahwa mocktail sama dengan soda gembira memang salah.

Di tengah gelak tawa kami yang memekakan seisi penjuru Cafe Cinnemon, diam-diam Neng menukar minumanku dengan minuman yang digenggamnya.

Dan dalam hitungan detik Lion Roar-ku resmi menjadi miliknya.

Bisa jadi Magic Summer Drink dapat memberikan efek tertawa, karena setelah meninggalkan Cafe Cinnemon, Neng tak henti-hentinya tertawa.

Bahkan, ketika singgah di masjid terdekat untuk menunaikan salat maghrib, ia  masih tertawa. Semoga saja spekulasiku kali ini salah.

Baru aku tahu, ternyata ia menertawakan kepalaku yang botak.




Walaupun begitu, aku tetap bahagia karena hari itu semua masalah berujung menjadi keceriaan.

Lebih-lebih Neng yang tak henti-hentinya tersenyum karena telah berhasil membunuh satu nyamuk. (Hna)
Posting Komentar

Posting Komentar