KEMARIN. Aku sudah merencanakan menonton episode kedelapan Star Wars sejak setahun lalu. Atau mungkin dua tahun lalu. Terserah.
"The Last Jedi pasti bakal keren," kata seorang kawan, usai menyaksikan Star Wars: Rouge One di penghujung 2016.
Nyatanya, hal itu tak pernah terjadi. Kami semua terlalu sibuk mengejar keping-keping emas. Alhasil kami memutuskan untuk menunggunya di Fox Movies.
Dibumbui rasa penasaran yang begitu hambar, dan kebetulan hari itu adalah hari liburku, aku dan sahabatku paling setia di dunia pergi menonton Star Wars: The Last Jedi pada hari terakhir penayangan.
Suasana bioskop cukup sepi. Barisan bangku teratas paling diminati kala itu. Kami sendiri memilih duduk di B5 dan B6, terhalat satu bangku dari tangga naik.
Lantas, mataku dibuat takjub pada pertempuran udara yang dipimpin Poe Dameron (Oscar Isaac). Lead keren dalam film ini sekaligus menegaskan bahwa Star Wars episode ke-VIII layak untuk ditonton. Bukan hanya untuk taipan, tapi juga masyarakat luas.
Dari awal, aku sudah menyangka kalau film ini akan menjadi yang terbaik di bulan Desember 2017. Semenjak diambil alih Disney, Star Wars menjelma menjadi opera ruang angkasa yang dipenuhi "keajaiban". Meski tidak seperti Frozen atau Beauty and The Beast.
Para fan boy mungkin setuju jika Luke Skywalker adalah sosok yang paling dinantikan dalam petualangan antar galaxy kali ini. Namun, yang perlu dijelaskan, apakah anak kandung dari Anakin Skywalker itu layak dinantikan?
Mungkin ulasan ini bakal menambah wawasan Bengkuringnish (pembaca setia Bengkuring Weekly) yang cukup jauh ketinggalan cerita luar biasa Star Wars.
Luke Skywalker sang legendaris
Sebelum membuat tulisan ini, terlebih dahulu aku mencari tahu apa yang dipikirkan orang lain tentang Luke. Itu dikarenakan frame of reference-ku yang tergolong lemah.
Penjelasan menarik datang dari Nicholas Barber dalam laman BBC.com, mencerahkan pandanganku tentang tokoh tersebut. Dia berpendapat, kemunculan Luke dalam film ini mirip seperti karakter yang dimainkan Clint Eastwood dalam Unforgiven (1992).
Aku menganggut setuju. Semua orang berpikir bahwa lelaki tua dengan pedang laser bisa menjempalitkan keadaan dalam perang melawan jutaan tentara fasis. Ribuan anggota resistance, termasuk Rey (Daisy Ridley) mencomooh reputasi legendaris yang diemban Luke.
Pada akhirnya, Luke memberi penonton kepuasan. Mengisbatkan dirinya memang cocok mendapatkan julukan "sang legendaris".
Scene favoritku adalah ketika Luke melakukan aktivitas di pulau pelariannya. Rian Jhonson sang sutradara membuat si Empu Jedi memanjat tebing, memancing, dan mengobrol dengan alien lokal. Luke pantas mendapatkannya. Lantaran di Force Awakens (2015) ia hanya kebagian satu ekspresi muram tanpa dialog.
Satu lagi, kemiripan film ini dengan The Empire Strikes Back (1980) adalah ketika Rey menyambangi Luke untuk diajari cara mengendalikan force. Sama halnya dengan Luke yang mencari Master Yoda di tengah belantara agar force yang dimilikinya bisa digunakan melawan Darth Vader.
Goodbye Carrie Fisher
Cukup dengan Luke, mari kita beralih ke saudara kembarnya, Leia. Bagaimanapun juga, semua penonton terbawa pada momen mengharukan dari kematian Carrie Fisher pemeran sang putri, pasca produksi film ini. The Last Jedi menjadi spesial dan semua penggemarnya memberi penghormatan terakhir.
Snoke's Theory is Sucks
One last thing, dalam film ini juga Kylo Ren (Adam Driver) mengukuhkan kebengisannya dengan membunuh Supreme Leader, Snoke (Andy Serkis). Buzzer dari Teori Snoke yang diciptakan para penggemar seakan runtuh. Meski begitu, tanda tanya siapa Snoke masih menjadi misteri.
***
Hasilnya, tercipta kedamaian di seantero galaxy untuk sementara waktu. Banyak yang berpikir bahwa waralaba Star Wars akan kehabisan ide selepas peninggalan George Lucas. Namun faktanya, certia yang dihadirkan sederetan penggiat film di Holywood justru membuatnya menarik. (Hna)
"The Last Jedi pasti bakal keren," kata seorang kawan, usai menyaksikan Star Wars: Rouge One di penghujung 2016.
Source: starwars.com |
Nyatanya, hal itu tak pernah terjadi. Kami semua terlalu sibuk mengejar keping-keping emas. Alhasil kami memutuskan untuk menunggunya di Fox Movies.
Dibumbui rasa penasaran yang begitu hambar, dan kebetulan hari itu adalah hari liburku, aku dan sahabatku paling setia di dunia pergi menonton Star Wars: The Last Jedi pada hari terakhir penayangan.
Suasana bioskop cukup sepi. Barisan bangku teratas paling diminati kala itu. Kami sendiri memilih duduk di B5 dan B6, terhalat satu bangku dari tangga naik.
Lantas, mataku dibuat takjub pada pertempuran udara yang dipimpin Poe Dameron (Oscar Isaac). Lead keren dalam film ini sekaligus menegaskan bahwa Star Wars episode ke-VIII layak untuk ditonton. Bukan hanya untuk taipan, tapi juga masyarakat luas.
Dari awal, aku sudah menyangka kalau film ini akan menjadi yang terbaik di bulan Desember 2017. Semenjak diambil alih Disney, Star Wars menjelma menjadi opera ruang angkasa yang dipenuhi "keajaiban". Meski tidak seperti Frozen atau Beauty and The Beast.
Para fan boy mungkin setuju jika Luke Skywalker adalah sosok yang paling dinantikan dalam petualangan antar galaxy kali ini. Namun, yang perlu dijelaskan, apakah anak kandung dari Anakin Skywalker itu layak dinantikan?
Mungkin ulasan ini bakal menambah wawasan Bengkuringnish (pembaca setia Bengkuring Weekly) yang cukup jauh ketinggalan cerita luar biasa Star Wars.
Luke Skywalker sang legendaris
Sebelum membuat tulisan ini, terlebih dahulu aku mencari tahu apa yang dipikirkan orang lain tentang Luke. Itu dikarenakan frame of reference-ku yang tergolong lemah.
Source: starwars.com |
Penjelasan menarik datang dari Nicholas Barber dalam laman BBC.com, mencerahkan pandanganku tentang tokoh tersebut. Dia berpendapat, kemunculan Luke dalam film ini mirip seperti karakter yang dimainkan Clint Eastwood dalam Unforgiven (1992).
Aku menganggut setuju. Semua orang berpikir bahwa lelaki tua dengan pedang laser bisa menjempalitkan keadaan dalam perang melawan jutaan tentara fasis. Ribuan anggota resistance, termasuk Rey (Daisy Ridley) mencomooh reputasi legendaris yang diemban Luke.
Pada akhirnya, Luke memberi penonton kepuasan. Mengisbatkan dirinya memang cocok mendapatkan julukan "sang legendaris".
Scene favoritku adalah ketika Luke melakukan aktivitas di pulau pelariannya. Rian Jhonson sang sutradara membuat si Empu Jedi memanjat tebing, memancing, dan mengobrol dengan alien lokal. Luke pantas mendapatkannya. Lantaran di Force Awakens (2015) ia hanya kebagian satu ekspresi muram tanpa dialog.
Satu lagi, kemiripan film ini dengan The Empire Strikes Back (1980) adalah ketika Rey menyambangi Luke untuk diajari cara mengendalikan force. Sama halnya dengan Luke yang mencari Master Yoda di tengah belantara agar force yang dimilikinya bisa digunakan melawan Darth Vader.
Goodbye Carrie Fisher
Source: nerdist.com |
Cukup dengan Luke, mari kita beralih ke saudara kembarnya, Leia. Bagaimanapun juga, semua penonton terbawa pada momen mengharukan dari kematian Carrie Fisher pemeran sang putri, pasca produksi film ini. The Last Jedi menjadi spesial dan semua penggemarnya memberi penghormatan terakhir.
Snoke's Theory is Sucks
Source: reddit.com |
One last thing, dalam film ini juga Kylo Ren (Adam Driver) mengukuhkan kebengisannya dengan membunuh Supreme Leader, Snoke (Andy Serkis). Buzzer dari Teori Snoke yang diciptakan para penggemar seakan runtuh. Meski begitu, tanda tanya siapa Snoke masih menjadi misteri.
***
Hasilnya, tercipta kedamaian di seantero galaxy untuk sementara waktu. Banyak yang berpikir bahwa waralaba Star Wars akan kehabisan ide selepas peninggalan George Lucas. Namun faktanya, certia yang dihadirkan sederetan penggiat film di Holywood justru membuatnya menarik. (Hna)
1 komentar