R7ZiNLx3KC2qKMr3lC8fGnzuEqDGM1kXB8IvxLhQ
Bookmark

Menguak Tabir Di Balik Frekuensi

KEMARIN. Oke, ini tulisan aku buat ketika mendapat tugas kuliah, kalau tidak salah penulisan humas atau semacamnya. Udah lupa.
Singkatnya, kami satu kelas disuruh menonton film Di Balik Frekuensi bersama-sama, lalu menuliskan ulang pengalaman menonton pada sebuah blog. Taraaaa... terbitlah review-review-an Di Balik Frekuensi alakadarnya yang aku buat demi mendapat nilai A.
Saat mulai membangun Bengkuring Bakery Street di tahun 2016, tulisan ini aku hapus karena sangat-sangat tidak menjual. Namun, sewaktu ngobrol asyik dengan seorang kawan, dia mengungkapkan kalau dari semua tulisan yang pernah aku bikin, cerita tentang Di Balik Frekuensi adalah yang terbaik dan terfavorit serta ter-ter yang lain.
Berlagak so cool, padahal salang tingkah ditambah sumringah, aku cuman bisa bilang: Oh.
Well, tanpa ada kata, frasa, dan kalimat yang diganti, serta mencarinya sulit sekali karena harus membuka folder zaman kuliah satu-satu, inilah Pengalaman Menonton Film Di Balik Frekuensi.

Source: netizen

***
Jika diberi dua pilihan, antara menonton film kartun atau film dokumentar, pastilah saya memilih film kartun. Tom and Jerry misalnya, kisah konyol kucing dan tikus ini membuat saya tidak pernah bosan menontonnya walaupun diulang berjuta-juta kali. Tapi berbeda dengan film Di Balik Frekuensi. Film ber-genre dokumentar ini terlihat biasa saja seperti film dokumentar lainnya pada saat intro.
Seiring berjalannya waktu, film ini semakin asyik untuk ditonton. Scene to scene Di Balik Frekuensi seperti menimbulkan magnet, di mana kita lengket di bangkunya masing-masing untuk tetap setia menyaksikannya. Walaupun tak ada adegan pukul-pukulan dengan stick golf, film ini seakan menyihir saya untuk selalu ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Prinsip saya sebagai seorang Fan Boy, penyuka karakter komik, seakan-akan luntur begitu saja ketika melihat Luviana, yang menjadi tokoh utama pada Di Balik Frekuensi. Bagaimana tidak, perjuangan membela haknya sebagai seorang jurnalis yang di non-aktifkan tanpa alasan,  membuat saya ingin masuk ke dalam film tersebut dan membantunya.
Ruangan gelap di Gedung Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman terasa bergetar saat adegan Luviana bersama Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) beramai-ramai mendatangi markas Partai Nasdem, yang di pimpin oleh Surya Paloh yang sekaligus pemilik dari Metro TV, tempat Luviana bekerja. Bersatunya Luvi dan AJI seperti Tony Stark yang bergabung bersama The Avengers demi menumpas kejahatan di muka bumi ini.
Di Balik Frekuensi dibuat dengan setting dan alur campur, artinya ada dua kisah dalam film ini. Saya mengakui kalau film ini sangat berkesan dan menarik, namun kalau boleh jujur, saya sempat tertidur beberapa detik ketika adegan Hari Suwandi berjalan kaki dari Sidoarjo menuju Jakarta.
Alasan saya tidur bukan karena bosan film ini tidak ada adegan perkelahian pria jantan, layaknya film-film Mel Gibson. Tapi karena AC di Gedung Fahutan kebetulan sangat sejuk.
Mata saya kembali tertuju ke layar besar, berukuran 4x4 meter. Aksi jalan kaki Hari Suwandi ternyata mempunyai maksud menuntut pemerintah dan PT. Lapindo Brantas supaya melunasi pembebasan lahan korban “Lumpur Lapindo”. Setelah 29 hari perjalanan, akhirnya Hari Suwandi sampai di Jakarta, Ia pun menemui beberapa pejabat “Senayan” dan megutarakan maksud kedatangannya.
Sementara itu, negosiasi antara Luviana dan pemimpin Nasdem berakhir dengan senyuman. Tapi di penghujung film, saya diberi kejutan dengan Luviana yang akhirnya di PHK. Setelah negosisai dan perbincangan dramatis, yang disertai canda tawa, antara Luviana dan Surya Paloh tersebut membuat saya berkata: KENAPA?
Diduga selama bekerja di Metro TV, Luviana menginisiasi aliansi serikat pekerja. Kesedihan saya yang seperti menonton film India semakin bertambah ketika Hari Suwandi melakukan interview live di TV One. Secara gamblang dia mengatakan, keluarga Bakrie yang notabene-nya pemilik PT. Lapindo Brantas, mampu mengatasi masalah tersebut. Hal itu sangat bertolak belakang dengan apa yang disuarakan sebelumnya. Kesan penjilat sangat pantas dilemparkan kepada Hari Suwandi.
Seandainya saya bertemu dengan Hari Suwandi sekarang ini, sudah pasti saya akan memukul kepalanya dengan kursi besi buatan Korea dan berharap kepalanya sembuh kembali seperti ketika Tom menjahili Jerry. Namun saya sadar, kalau itu hanya bagian dari film, alhasil saya hanya bisa mengelus dada.
Lalu, apa yang saya bisa didapat dari Di Balik Frekuensi?
Pertama, saya ingin berterima kasih kepada Ucu Agustin, jika saya mempunyai sepuluh jempol, tentu akan saya acungkan semua untuknya. Istilah dari Konglomerasi Media yang disampaikannya melalui film ini sangat menyentuh dan menginformasikan kepada saya dunia jurnalistik pada hari ini sangat membentuk pencitraan dari pemilik modal.
“Porsi khusus” yang ditampilkan media-media besar, khususnya televisi sangat berpihak pada pemilik modal. Media sebagai watch dog seperti mengganti namanya sendiri menjadi suck dog. Media yang kita dambakan sebagai kontrol sosial hilang begitu saja lantaran terpukau dengan rupiah yang berlipat ganda. Apakah kita harus selalu menonton perkelahian kucing dan tikus yang tiada akhirnya atau menonton media informasi yang terpaku pada 12 pemodal? Be smart, guys. (Hna)

***


Judul: Di Balik Frekuensi (2013)
Genre: Dokumentar
Sutradara: Ucu Agsutin
4 komentar

4 komentar

  • Raymond Chouda
    Raymond Chouda
    23 November 2018 pukul 09.00
    Hahaha... sama ul, gara2 mat kulia itu aku jg bikin blog, dan keterusan sampe sekarang....
    • Raymond Chouda
      Bengkuringnish
      22 Desember 2018 pukul 00.18
      bahaya mon, menjangkit mata kulia nya :(
    Reply
  • Unknown
    Unknown
    3 Agustus 2018 pukul 22.11
    emang keren sih ini film
    Reply
  • Unknown
    Unknown
    3 Agustus 2018 pukul 22.11
    emang keren sih ini film
    Reply