R7ZiNLx3KC2qKMr3lC8fGnzuEqDGM1kXB8IvxLhQ
Bookmark

Arsenal Selalu Keok #MerciArsene

KEMARINPada hari Minggu, 12 Agustus 2018, Arsenal babak belur dihajar Manchester City dengan skor 0-2. Itu adalah big match perdana di pekan pertama English Premier League 2018/2019. Aku sadar, aura kepedihan hengkangnya Arsene Wenger baru terasa setelah pertandingan itu.

Ketika Unai Emery dikabarkan menjadi pengganti Wenger, aku tidak terlalu menyoal. Toh, manajer kelahiran Strassbourg, Perancis itu sudah lama kehilangan sentuhannya semenjak gagal meraih trofi Premier League selama satu dekade lebih.

Dan sekarang, di era kepemimpinan Unai Emery, wujud perbedaan nampak jelas. Mulai dari pilihan pemain hingga taktik bermain. Namun hasil yang didapat saat menghadapi Manchester City tidak membuat perubahan. Bersama ribuan fans Arsenal lainnya, aku dibuat kecewa.


The Invincibles Squad. Source: mirror.co.uk

Keputusan Arsenal tidak memperpanjang kontrak Jack Wilshere menambah kepedihan semakin menjadi-jadi. Ribuan Gooners menggigit jari saat Jack memutuskan pergi dari klub yang dibelanya selama 17 tahun.

Aku semakin meragukan Unai Emery saat performa Matteo Guendouzi yang diboyongnya musim ini dari FC Lorient, klub yang berkutat di Ligue 2, tak memperlihatkan cara bermain seorang gelandang ketika berhadapan dengan Manchester City.

Padahal, pasca cidera panjang, Jack menyuguhkan penampilan terbaiknya di musim kemarin. Entahlah, mau bilang apapun, keputusan tetap di tangan Unai Emery.

Meski mereka berhasil "membisiki" Mesut Ozil untuk empat tahun ke depan, tetap saja kepergian Jack sangat disayangkan. I miss old Arsenal so bad.

Aku menyukai Arsenal selagi duduk di bangku Sekolah Dasar. Semuanya berawal ketika candu PS 1 mengalir indah di setiap aliran darahku.

Di sebuah rental PS, di mana semua anak di lingkunganku memanggil sang penjaga dengan sebutan Bapak Pocay, aku mulai mengenal Arsenal.

Bapak Pocay merupakan manusia pertama yang membuka rental PS di Bengkuring. Bapak Pocay berperawakan jangkung dan memiliki kulit putih yang tak biasa dimiliki orang Indonesia pada umumnya. Dia memiliki anak laki-laki nan lucu dan berkulit sama bernama Pocay (entah siapa nama aslinya). Itulah kenapa dia dipanggil Bapak Pocay.

Serunya, di rental PS Bapak Pocay ada sebuah turnamen Winning Eleven yang digelar setiap sebulan atau seminggu sekali, aku lupa. Hal ini yang membuat rental Bapak Pocay digemari, mesti sejumlah kompetitor berupaya melengserkan usaha Bapak Pocay.

Turnamen yang dipertandingkan tergolong unik. Jika ingin mendaftar, calon peserta diwajibkan membeli klub senilai Rp 5 ribu sampai Rp 20 ribu. Angka itu didapat berdasarkan popularitas dan kehebatan klub. Hanya Bapak Pocay dan tuhan yang tahu ukuran kehebatan klub-klub tersebut.

Peraturannya cukup ketat. Klub yang sudah dibeli tidak boleh dibeli lagi oleh orang lain. Artinya, si pembeli memiliki hak paten atas klub yang telah dibayarnya. 

Setelah mendapatkan klub, calon peserta harus memainkannya lewat Master League hingga pemain default tergantikan dengan pemain original. Kemudian, klub yang sudah matang diadu CPU vs CPU dalam panasnya Konami Cup. Bapak Pocay membatasi klub yang bermain, yakni 32 klub, dengan biaya pendaftaran kalau tidak salah Rp 10 ribu per orang.

Hadiahnya beragam, mulai dari ucapan terima kasih karena telah menjadi pelanggan setia hingga sejumlah uang yang dipotong 70 persen dari biaya pendaftaran. Memang nampak seperti bermain judi, but isn't. We're kids.

Aku yakin Bapak Pocay pelopor teknik jitu pemasaran di dunia penyewaan PS. Aku juga berani bertaruh, jika di rental PS Bapak Pocay satu jamnya dihargai 2 ribu rupiah dengan 10 anak yang bermain 10 jam setiap harinya, ditambah dengan keuntungan menggelar turnamen, lelaki itu bisa meraup untung puluhan juta setiap bulannya.

Termenung memikirikan hal gila tersebut, aku ingin sekali berhenti dari pekerjaanku saat ini, lantas menggadaikan BPKB scotter bututku, demi mendapatkan modal membuka usaha rental PS. Tahu hal itu hanya sebuah lamunan, aku pun mengubur mimpi tersebut dalam-dalam. Pikirku, menjadi om-om penjaga rental PS bukanlah pekerjaan yang keren. Memikirkannya saja sudah membuang waktuku per sekian detik.

By the way, guna mengembangkan kemampuan bermain Winning Eleven, aku berniat membeli sebuah klub agar bisa ikut serta di Bapak Pocay Cup (selanjutnya akan terus ditulis seperti ini agar memudahkan pembaca).

Secara acak, aku membeli Arsenal seharga Rp 18 ribu, dari uang yang kudapat saat "keliling" di Hari Raya Idulfitri. Kalau boleh jujur, ada perasaan kecewa ketika memilih Arsenal, itu dikarenakan ada seorang anak yang lebih dulu membeli AC Milan. Nyatanya, di masa itu aku sangat cinta dengan Andriy Shevchenko. Karena tidak bisa dipungkiri tahun-tahun itu adalah kejayaan Serie A Italia. Semua anak ingin menjadi Sheva atau Batistuta.

Meski tidak tahu Arsenal itu klub macam apa, aku hanya ingin membuktikan bahwa keputusan membeli klub itu adalah keputusan terbaik.

Hari demi hari, aku berkelut di hadapan layar sembari menggenggam stick PS untuk memenangkan Master League. Bahkan aku sering bolos ngaji di sore hari, demi menyempurnakan semua pemain Arsenal.

Di rumah, aku tidak bisa melupakan gol Thierry Henry setelah mendapat assist manja Robert Pires dengan ketukan L1 + X atau aksi memukau Freddie Ljungberg yang berhasil mengecoh penjaga lawan dengan pukulan Kotak + X. Aku mulai menyukai Arsenal.

Di luar bermain PS, aku mulai menonton siaran langsung English Premier League di televisi. Tepat tahun 2004, Arsenal menjadi kampiun Liga Inggris tanpa pernah dikalahkan oleh klub manapun dalam 38 pertandingan. Di tahun keemasan tersebut, klub asal Holloway, London itu dijuluki The Invincibles (Tak Terkalahkan).

Dan yang perlu dicatat, trofi yang diraih Arsenal tahun itu merupakan trofi keenam semenjak Arsene Wenger dinobatkan sebagai manajer pada 1996.

Aku memilih klub yang tepat, gumamku. Semua skuad The Invincibles akan membantai semua peserta di Bapak Pocay Cup. We're not just a football club. We are The Slaughter House

Hari di mana Arsenal akan menjadi juara pun datang. Aku sudah mengenakan jersey Arsenal dengan tulisan Henry di punggung demi melengkapi kemenanganku nantinya. Gaya rambut belah-tengah-dipaksa melengkapi penampilanku. Sejumput tancho menjadi pelindung, jaga-jaga, siapa tahu ada yang mengacak-ngacak rambutku ketika memenangkan Bapak Pocay Cup.

Selama 3 minggu aku mempelajari seluk beluk dari algoritma sistem CPU vs CPU Winning. Aku akan mencoreng muka semua anak yang ikut pertandingan itu.

Di babak penyisihan, namaku keluar di pertandingan ketiga. Arsenal akan melawan salah satu anak yang menggunakan AC Milan. Dendam lama terpendam akan tercurahkan. Darah bakal berceceran, tumpah ruah lewat sepakan maut Henry di gawang Abbiati.

Pertandingan dimulai. Pada 15 menit awal babak pertama semua nampak normal. Skema yang kuatur percis seperti alur dari permainan Arsene Wenger, 4-4-2. Duet maut Henry-Bergkamp pun melesatkan beberapa tendangan ke arah gawang, namun sayang masih out target.

Hal yang tak pernah kubayangkan terjadi di sekitar menit ke-42, saat Sheva menendang dengan keras dari luar kotak penalti. Alhasil Lehman harus memungut bola dari jala, skor 0-1 satu di babak pertama sebelum wasit meniupkan pluit panjang.

Tak cukup sampai di sana, kesialan menimpaku seperti tak berujung. Di babak kedua, tepat di menit ke-53, Henry diganti dengan penjaga gawang cadangan, Stuart Taylor.

Alamak, aku tak pernah menyangka hal ini akan terjadi. Aku memejamkan mata, selang beberapa saat, skor berubah menjadi 0-3. Sheva mencetak hattrick. Aku mentap layar, waktu tinggal 10 menit. Aku sadar, 2x45 menit di PS berbeda dengan pertandingan sebenarnya. Artinya, aku cuman punya waktu kurang lebih dua menit untuk membalikkan keadaan.

Tepat di menit 90+2, Stuart Taylor melesatkan bola lewat sundulan mautnya. Bola langsung mengarah ke pojok kanan, satu centi dari mistar gawang. Pertandingan berakhir dengan skor 1-3. (Hna)
1 komentar

1 komentar

  • Unknown
    Unknown
    13 September 2018 pukul 22.38
    Hebat juga ya city
    Reply