KEMARIN. Sabtu, 26 November 2016. Pukul 06.00 Wita.
Tatkala matahari masih berselimut di balik permukaan awan, seorang pria berperawakan tangguh dan berkulit cokelat, mengejutkanku yang masih mengantuk sambil membaca The Naked Travel. Terlihat mencurigakan, pria itu berjalan mendekatiku dengan senyuman aneh yang tersembur dari raut wajahnya.
Selang beberapa detik kemudian, dia sudah duduk di sampingku.
"Assalamualaikum," sapa pria misterius itu.
"Waalaikumsalam," balasku heran, pagi-pagi buta sudah didatangi penduduk asli Biduk-Biduk.
"Mana teman-teman yang lain?" tanya pria itu.
"Itu, di sana," tunjukku pada anggota Biduk-Biduk Squad yang tengah asyik mengabadikan proses terbitnya matahari dari tepi pantai. "Sebagian masih ada yang tidur, ada apa ya?"
"Oh begitu. Saya punya kapal, kalau adik dan teman-teman yang lain mau, nanti ikut kapal saya aja, keliling Biduk-Biduk. Sudah dapat kapal?"
Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan, dengan santai aku bilang: "tunggu teman-teman yang lain ya, Om."
"Oh begitu," sembari mengucapkan salam, pria itu pun pergi.
Sampai di Biduk-Biduk
Setelah menempuh perjalanan 24 jam dari Samarinda, kami akhirnya sampai di Biduk-Biduk. Emon yang ditunjuk sebagai Penanggung Jawab Tamasya (PJT) secara sepihak, memandu kami pada sebuah penginapan keren di pinggir pantai, bernama Penginapan Meranti.
Harga yang ditawarkan cukup murah, dengan kocek Rp 200 ribu, kami sudah bisa menyaksikan indahnya laut biru dan gelinya pasir putih menggelitik kaki, yang terhampar di sepanjang pantai Biduk-Biduk.
Fasilitasnya tak kalah menarik, mulai dari kipas angin, televisi, dan kamar mandi dalam. Kita bisa memilih, kamar yang memiliki satu ranjang dengan ukuran yang besar (biasanya, kamar yang seperti ini dipilih oleh pasangan yang baru saja menikah) atau kamar dengan dua ranjang kecil.
Induk semang penginapan sangat ramah dan baik hati. Kami dibolehkan tidur di salah satu kamar, diisi sembilan orang. Kami berharap, dia tidak tahu apa yang kami lakukan selama bermalam di penginapan miliknya.
Setiap pagi, Penginapan Meranti memberi pelayanan spesial bak hotel-hotel berbintang. Kami dimanjakan dengan sebungkus nasi kuning dengan lauk telor rebus dan teh hangat sebagai pelengkap.
Dia juga membiarkan kami memakai scooter-nya untuk berbelanja keperluan sehari-hari. Bahkan, di kala malam, ketika kami ingin menikmati lezatnya ikan laut bakar, dengan ikhlas wanita itu meminjamkan kami seperangkat panggangan lengkap dengan serabut kelapanya.
Dengan mata lebar dan senyum tulus, pria misterius yang tadi menghampiriku datang kembali saat semua orang tengah menikmati lezatnya nasi kuning, beralas daun pisang, yang membuat aromanya semakin melekat di hidung hingga ke kepala.
Merasa sia-sia berbicara denganku, dia mendatangi Emon yang sedang asyik mengunyah. Pria itu menwarkan hal yang sama, dan ucapannya percis seperti yang aku dengar tadi pagi.
Setelah mendengar apa yang ditawarkan pria itu, Emon meminta kami berkumpul.
"Om itu nawarkan kapalnya. Keliling pulau-pulau di Biduk-Biduk hanya Rp 550 ribu, mau?" jelas Emon.
Kami semua mengangguk setuju, kecuali Fayon yang tengah khusyuk di hadapan nasi kuning keduanya.
Pria itu kemudian menjabat tangan kami semua, dan memperkenalkan namanya, Ben. Sejenak aku ingat karakter lelaki penyuka kopi yang ditulis Dee Lestari dalam cerpennya.
To be honest with you, Om Ben lebih ganteng dan maskulin dari si pecandu kopi itu.
"Selesai sarapan kami berangkat, Om," kata Emon kepada Om Ben.
"Oh begitu. Saya tunggu di dermaga Teluk Sulaiman ya." (Hna)
_________
Baca kisah sebelumnya: Tamasya ke Biduk-Biduk Naik Pick-Up (Bagian 1)
Tatkala matahari masih berselimut di balik permukaan awan, seorang pria berperawakan tangguh dan berkulit cokelat, mengejutkanku yang masih mengantuk sambil membaca The Naked Travel. Terlihat mencurigakan, pria itu berjalan mendekatiku dengan senyuman aneh yang tersembur dari raut wajahnya.
Selang beberapa detik kemudian, dia sudah duduk di sampingku.
"Assalamualaikum," sapa pria misterius itu.
"Waalaikumsalam," balasku heran, pagi-pagi buta sudah didatangi penduduk asli Biduk-Biduk.
"Mana teman-teman yang lain?" tanya pria itu.
"Itu, di sana," tunjukku pada anggota Biduk-Biduk Squad yang tengah asyik mengabadikan proses terbitnya matahari dari tepi pantai. "Sebagian masih ada yang tidur, ada apa ya?"
"Oh begitu. Saya punya kapal, kalau adik dan teman-teman yang lain mau, nanti ikut kapal saya aja, keliling Biduk-Biduk. Sudah dapat kapal?"
Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan, dengan santai aku bilang: "tunggu teman-teman yang lain ya, Om."
"Oh begitu," sembari mengucapkan salam, pria itu pun pergi.
Sampai di Biduk-Biduk
Setelah menempuh perjalanan 24 jam dari Samarinda, kami akhirnya sampai di Biduk-Biduk. Emon yang ditunjuk sebagai Penanggung Jawab Tamasya (PJT) secara sepihak, memandu kami pada sebuah penginapan keren di pinggir pantai, bernama Penginapan Meranti.
Harga yang ditawarkan cukup murah, dengan kocek Rp 200 ribu, kami sudah bisa menyaksikan indahnya laut biru dan gelinya pasir putih menggelitik kaki, yang terhampar di sepanjang pantai Biduk-Biduk.
Sunrise di depan mata. |
Fasilitasnya tak kalah menarik, mulai dari kipas angin, televisi, dan kamar mandi dalam. Kita bisa memilih, kamar yang memiliki satu ranjang dengan ukuran yang besar (biasanya, kamar yang seperti ini dipilih oleh pasangan yang baru saja menikah) atau kamar dengan dua ranjang kecil.
Induk semang penginapan sangat ramah dan baik hati. Kami dibolehkan tidur di salah satu kamar, diisi sembilan orang. Kami berharap, dia tidak tahu apa yang kami lakukan selama bermalam di penginapan miliknya.
Setiap pagi, Penginapan Meranti memberi pelayanan spesial bak hotel-hotel berbintang. Kami dimanjakan dengan sebungkus nasi kuning dengan lauk telor rebus dan teh hangat sebagai pelengkap.
Pemburu sunrise. |
Dia juga membiarkan kami memakai scooter-nya untuk berbelanja keperluan sehari-hari. Bahkan, di kala malam, ketika kami ingin menikmati lezatnya ikan laut bakar, dengan ikhlas wanita itu meminjamkan kami seperangkat panggangan lengkap dengan serabut kelapanya.
The Biduk-Biduk Squad |
Dengan mata lebar dan senyum tulus, pria misterius yang tadi menghampiriku datang kembali saat semua orang tengah menikmati lezatnya nasi kuning, beralas daun pisang, yang membuat aromanya semakin melekat di hidung hingga ke kepala.
Merasa sia-sia berbicara denganku, dia mendatangi Emon yang sedang asyik mengunyah. Pria itu menwarkan hal yang sama, dan ucapannya percis seperti yang aku dengar tadi pagi.
Setelah mendengar apa yang ditawarkan pria itu, Emon meminta kami berkumpul.
"Om itu nawarkan kapalnya. Keliling pulau-pulau di Biduk-Biduk hanya Rp 550 ribu, mau?" jelas Emon.
Kami semua mengangguk setuju, kecuali Fayon yang tengah khusyuk di hadapan nasi kuning keduanya.
Pria itu kemudian menjabat tangan kami semua, dan memperkenalkan namanya, Ben. Sejenak aku ingat karakter lelaki penyuka kopi yang ditulis Dee Lestari dalam cerpennya.
To be honest with you, Om Ben lebih ganteng dan maskulin dari si pecandu kopi itu.
"Selesai sarapan kami berangkat, Om," kata Emon kepada Om Ben.
"Oh begitu. Saya tunggu di dermaga Teluk Sulaiman ya." (Hna)
_________
Baca kisah sebelumnya: Tamasya ke Biduk-Biduk Naik Pick-Up (Bagian 1)
Posting Komentar