"Baguskah air terjunnya?"
***
Kemarin. Aku duduk di bangku panjang, di rumah, di Bengkuring. Mencoba mengingat segala kenangan di Air Terjun Bidadari, Desa Teluk Sumbang, Biduk-Biduk.
Sangat sulit mengingatnya, karena itu terjadi sekitar 8 tahun lalu. Aku membuka laptop. Jemariku mulai membuka folder berisi foto-foto kenangan yang kami abadikan saat mandi di air terjun itu.
Perlahan memori tentang perjalanan melelahkan itu merasuk ingatan. Sekarang aku tahu harus mulai dari mana.
***
Sabtu, 26 November 2016. Pukul 12.30 WITA.
Puas berenang di laut lepas, kami pun beranjak pergi. Melanjutkan perjalanan menuju Air Terjun Bidadari. Lokasinya di sudut Biduk-Biduk, tepatnya di Desa Teluk Sumbang.
Destinasi kali ini merupakan percobaan pertama yang pernah kami lakukan. Bahkan Emon pun tak pernah menginjakkan kakinya di sana. Terlebih Fajri, yang selalu mengaku si paling traveller.
Om Ben (tentang Om Ben, bisa baca di sini) menunggu di kapal, sementara kami, satu per satu meninggalkan perahu. Berjalan kaki menuju Air Terjun Bidadari.
Selama perjalanan, aku membayangkan cerita Joko Tarub, yang berhasil mencuri selendang bidadari. Aku berharap hal sama. Membawa pulang selendang plus bidadari dari air terjun yang kata orang-orang menakjubkan itu.
Video di atas menunjukkan keindahan Air Terjun Bidadari. Keren dan indah. Namun nasib siapa yang tahu. Ini yang dinamakan realita tak seperti ekspektasi. Kami tak pernah menyangka, agar bisa sampai ke Air Terjun Bidadari harus melewati sebuah bukit.
Ditambah kondisi jalan yang becek, lantaran beberapa hari hujan menerpa kawasan Teluk Sumbang. Aku sudah mulai kelelahan sebelum sampai.
Sayangnya waktu itu, kami semua nggak ada yang kepikiran mengabadikan momen hiking ini. Paling nggak, ada kelihatan sedikit track-nya gimana ;) |
Di tengah perjalanan, asma yang kuidap kumat. Sialnya lagi, inhaler berotec-ku berada dalam tas Reza. Ia sudah jauh melangkah beberapa kilometer di depan.
Seketika aku ingat rumah. Kangen Mamak. Minta dibikinkan Indomie kari ayam, telurnya diorak-arik. Ah, enaknya.
Banyak belajar dari Youtube, aku pun perlahan duduk di bawah pohon yang rindang. Meluruskan kaki, mengatur napas.
Kemudian aku duduk bersila bak seorang yogi profesional. Menghirup udara dalam-dalam, mengeluarkannya secara perlahan. Berusaha tidak panik.
Alhasil, paru-paru yang kembang-kempis kembali bergerak normal. Walaupun udara dingin masih membuatku batuk seperti kai-kai.
Aku kembali melanjutkan perjalanan. Bertemu Reza, Riandi dan Jun Su berkumpul di dekat batu besar. Mereka menungguku dan yang lain untuk bersama-sama turun ke Air Terjun Bidadari.
Setelah beberapa saat, semua Biduk-Biduk Squad lengkap. Emon yang paling terakhir datang. Ia bersama seorang pria, penduduk lokal yang membantunya menunjukkan jalan.
Bapak itu sepertinya suka berbincang dengan pelancong seperti kami. Dengan senang hati ia memandu kami menuju air terjun.
Deru air sudah mulai terdengar di telinga. Setelah melewati jalanan terjal dan beberapa kali memanjat tebing, kemudian turun lagi, barulah kami sampai di air terjun itu.
Aku menoleh ke belakang, ternyata satu per satu kawanku sudah tumbang, tak sanggup melanjutkan perjalanan.
Istirahat sebentar, kemudian lanjut. Semua lelah hilang, ketika kami memanjakan kaki penuh lumpur ke dalam air, yang aku dilihat di Youtube berwarna hijau, tetapi aslinya cokelat.
Sangat salah berkunjung ke Air Terjun Bidadari pas lagi musim hujan.
Kami sempat mandi dan tertawa riang, walaupun beberapa raut wajah kawanku masih sedikit dinaungi kekecewaan. Aku menyelam ke air, keluar lagi, lalu menyelam lagi hingga capek sendiri.
Arus begitu deras. Si bapak mengingatkan kami untuk tidak terlalu mendekati bagian tepi air terjun kedua. Jeramnya bisa mendorong ke bawah. Kemungkinan selamat minim.
Di ujung kanan itu si bapak yang membantu kami menunjukkan jalan. Asyik mandi, segerombolan anak-anak juga beramai-ramai mendatangi kami. |
Sekitar satu jam lebih mandi di Air Terjun Bidadari, kami beranjak pulang. Satu per satu mendaki. Aku, Riandi dan Jun Su sudah berada di atas.
Sembari menunggu kawan-kawan yang lain, si bapak memperhatikan dengan seksama vape yang dihisap Riandi. Aku berani bertaruh, ia sangat ingin menyedot benda itu.
Riandi pun sadar apa yang kupikirkan. Ia menawari si bapak, dan memperagakan cara menghisap vape. Kemudian vape itu berpindah ke tangan si bapak, melap bagian corong penghisap vape tersebut, lalu tergesa-gesa menghisapnya.
Si bapak batuk terpingkal-pingkal. Namun, sesaat Irwan sudah berada di atas, si bapak meminjam vape milik Irwan lagi. Dilap, menghisap, dan batuk lagi.
Setelah melewati rute yang sama ketika berangkat, akhirnya kami sampai di kapal milik Om Ben yang bersandar di tepi pantai. Ia tidak ada di kapal tersebut. Kami mencari ke mana-mana, tetap tidak ketemu. Kami pun harus menunggu.
Beberapa jam kemudian, dia pun datang dan berkata: "Baguskah air terjunnya?"
Kataku kepada Om Ben: "Nggak ada bidadarinya om." Kami melanjutkan vakansi ke Pulau Kaniungan Besar. Semua anggota Biduk-Biduk Squad tertidur. Mereka lelah, dan mereka lapar. (Hna)
Baca juga:
Posting Komentar