R7ZiNLx3KC2qKMr3lC8fGnzuEqDGM1kXB8IvxLhQ
Bookmark

Boyhood dan Hanna

Hanna di umur 4 tahun dan ayah



KEMARIN. Hingga saat ini, alur kisah Boyhood (2014) masih menancap di otakku. Cerita dalam film yang diproduksi selama 12 tahun itu sebenarnya sepele.


Mengisahkan seorang anak bernama Mason (Ellar Coltrane), yang menjalani hidup di masa perkembangannya. Dari umur 6 tahun sampai fase remaja.


Mulai 2001 hingga 2013, sang sutradara, Richard Linklater mengambil momen 10 menit dari kehidupan Mason. Walhasil, momen itu terekam dengan durasi 120 menit.


source: thenav.ca


Singkat kata singkat cerita, dalam momen itu juga, tertangkap pelbagai masalah yang dialami anak dan remaja. Menyaksikan Boyhood seperti melihat refleksi kehidupanku. Terutama soal betapa sulitnya menghadapi kenyataan perpisahan kedua orang tua.


Begitu menjadi seorang ayah seperti sekarang, aku merasa punya sudut pandang baru tentang kehidupan. Perspektif itu muncul bersamaan dengan kepingan memori dari cerita Boyhood.


Misalnya saja, ketika masih bujang, aku tidak pernah suka dengan anak kecil. Suara memekikkan telinga yang keluar dari mulut anak ketika merengek, atau dicecar pertanyaan random dari anak lima tahun mengenai segala hal--yang menurutku tidak perlu dipertanyakan, jadi musababnya.


Kini, aku merasa punya perasaan baru tentang nilai kesabaran. Asing dan ternyata baik bagi kesehatan mentalku. Semuanya karena Hanna.


Kutipan screenplay dalam Boyhood yang masih kuingat hingga sekarang:


I don't know, I'm kinda thinkin' it's the other way around. You know, like, the moment seizes us.


Terjemahan bebas: Entahlah, menurutku yang terjadi justru sebaliknya. Kamu tahu, kayaknya, momen itu yang menangkap kita.


source: rogerebert.com



***


Btw, tulisan ini dibuat agar nanti ketika Hanna dewasa tahu, kalau 1,5 persen pelajaran parenting yang dikuasai ayahnya berasal dari film.


Jangan berharap dapat insight apa pun soal pola mengasuh anak. Karena blog kali ini, cuman ingin kasih tahu kalau aku sudah jadi orang tua.


Aku jadi seorang ayah dari anak perempuan bernama Hanna Fatima Amizah. Pada 2023 ini, usianya menginjak 4 tahun. Ia sangat aktif. Cepat belajar.


Hanna sudah bisa melafal doa sebelum makan dan sebelum-sesudah tidur. Meski masih terbata-bata, aku merasa dua kebiasaan itu adalah pencapaian tertinggi kami sebagai orang tua.


Hanna suka sekali es krim. Aku dan istriku membatasi minimal sebulan sekali, lah. Hanna selalu mengoreksiku soal ejaan Mixue yang benar.


Menurutnya, Mixue harus diucapkan seperti ini: Miksyu. Sementara aku bersikeras bacaan Mixue yang tepat adalah Miksu-e.


Pada akhirnya, aku dan Hanna menghargai perbedaan pendapat satu sama lain. Walaupun, setiap kali lewat gerai Mixue, Hanna selalu bilang: itu Miksyu, ayah salah. It's okay.


Kalau sudah makan es krim, lupa dengan dunia.



Di sisi lain, Hanna senang mengunyah buah. Buah apa saja. Tapi paling nomor satu di hatinya adalah semangka. Ia bisa lupa orang-orang di sekelilingnya eksis kalau sudah makan semangka.


Makan pagi, siang, dan malam Hanna, mengikuti menu-menu pilihan kami. Kalau nggak Mimi Chicken plus selada, ya ayam bakar campur capcai. Kadang juga menu rumahan lain yang dimasak istriku.


Tahun depan, kemungkinan besar Hanna kami masukkan ke sebuah PAUD. Entah di mana. Kami masih cari-cari informasi sekolah yang bagus. (Kalau ada saran, boleh isi di kolom komentar).


Suatu kali--tahun lalu kalau nggak salah--Hanna jatuh sakit. Ia tidak bisa mengeluarkan ingus dari hidungnya. Tengah malam, pas tidur Hanna batuk-batuk hingga muntah. Nafasnya tersengal-sengal.


Istriku mengira kalau Hanna mengidap asma sepertiku. Malam itu juga, Hanna kami bawa ke rumah sakit. Ia dirawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD).


Setelah melakukan screening awal, petugas medis memasang selang oksigen di hidung Hanna. Sementara jarinya, dipasangi oksimeter untuk mengetahui saturasi oksigennya.


Hanna pun menjalani tes darah, guna memastikan penyakit apa yang menimpanya. Aku melihat Hanna menahan sakit saat jarum suntik menembus kulit lengannya. Tapi dasarnya Hanna anak pintar, ia manut saja apa kata dokter.


Aku melirik istriku, air matanya sudah jatuh dari tadi. Sementara aku, masih bisa menahan. Walaupun badan gemetar, tak tega melihat Hanna merintih kesakitan.


"Bunda, ayah," kata Hanna dengan suara parau, nafas kembang-kempis.


Kemudian, perawat medis memasang nebulizer, untuk mengeluarkan cairan di hidung Hanna. Anak perempuan kami kaget, ada uap asap keluar dari instrumen itu. Sambil menunggu alat itu bekerja, dokter datang membawa kabar.


Alhamdulillah, hasil tes darah normal. Tidak menunjukkan penyakit apa pun. Hanya saja, saturasi oksigen menurun. Ini yang membuat ia sulit bernafas. Di sepertiga malam kami pulang dengan perasaan bahagia.


Aku juga kagum dengan kebiasaan istriku yang merekam segala aktivitas Hanna di ponsel pintarnya. Ini berlangsung ketika Hanna masih bayi.


Tak heran, memori handphone istriku penuh dengan foto dan video Hanna. Jika sudah begini, aku kebagian tugas untuk memindahkan dokumen itu ke laptop atau hard disk. Terakhir kayaknya medio Agustus lalu.


Aku punya kesempatan melihat bagaimana Hanna tumbuh. Aku memperhatikan layar laptop: ada Hanna terbungkus lampin dengan kupluk putih menempel di kepalanya; Hanna duduk di bangku kuning dengan sandaran bergambar beruang lucu, mengudap makanan pendamping ASI (MPASI) pertamanya; Hanna latihan jalan bersamaku. Aku memegang tangannya, sementara ia mencoba mengayunkan kaki-kakinya yang mungil secara perlahan; ada juga Hanna dengan rambut tanggung dan sederet gigi yang baru tumbuh, kebingungan memandang dua gambar muncul--yang asalnya dari filter Instagram--di dua pipinya yang tembem. (Hna)

0

Posting Komentar