R7ZiNLx3KC2qKMr3lC8fGnzuEqDGM1kXB8IvxLhQ
Bookmark

Nasi Kuning Muara yang Aduhai

Nasi Kuning Muara yang Aduhai


Nasi kuning sambal habang telah bermetamorfosis. Hidangan itu kini bisa dimaknai sebagai simbol identitas budaya Samarinda.

***

Kemarin. Jumat, pukul 7 malam, aku memacu sekencang mungkin si Ridho--nama skuter matik kesayanganku, menyusuri Jalan Pangeran Antasari. Perutku lapar bukan kepalang.

Aku dan Ridho menepi ke kiri, sebelum lampu merah di pertigaan muara Sungai Mahakam segmen Karang Asam-Teluk Lerong. Akhirnya sampai di tujuan, Warung Nasi Kuning Muara yang tersohor.


Warung Nasi Kuning Muara, yang terletak di Jalan Pangeran Antasari.
Warung Nasi Kuning Muara, yang terletak di Jalan Pangeran Antasari.


Sejak pagi, aku telah merencanakan untuk menyantap makanan 'paling Samarinda'. Apalagi kalau bukan nasi kuning.

Di Kota Tepian, warung nasi kuning tidak hanya buka pada jam sarapan. Mau siang, tengah malam, sepertiga malam, penjaja nasi kuning hadir di setiap sudut kota. Dari bentuknya restoran, rumah makan, hingga kaki lima, semua ada.

Kepada acil penjaga warung, aku order seporsi nasi kuning dengan lauk iwak haruan. Plus segelas air putih hangat.

Ya, iwak haruan. Orang di luar Kalimantan memanggilnya ikan gabus. Sementara di mata penduduk internasional, ikan ini dijuluki snakehead fish. Kerennya, ia punya nama ilmiah, yakni channa striata.

Bagi hewan kecil yang hidup di perairan tawar Kalimantan, haruan merupakan predator menakutkan. Kepalanya mirip ular, mulutnya fleksibel nan lebar, tubuhnya panjang, sisiknya besar dan kuat pula.

Sekali bermanuver, mangsa dalam jangkauannya langsung dilahap. Incaran favorit haruan biasanya katak, kepiting, atau sesama ikan.

Paling seram, seorang kawan pernah bercerita, saat memair (teknik memancing ikan gabus tradisional dengan joran bambu yang ukurannya melebihi tinggi badan manusia dewasa) di rawa. Ia menyaksikan haruan menerkam burung kecil yang hinggap di dedaunan.

Tapi di mata orang Samarinda, haruan tak lebih dari sekedar lauk, yang sempurna bila dikombinasikan dengan nasi kuning.

Sejak ratusan bahkan mungkin ribuan tahun silam, masyarakat Kalimantan memanfaatkan haruan sebagai sumber pangan. Haruan di Kalimantan itu ibarat batu bara, melimpah ruah.

Proses interaksi sosial dan topografi di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, tak jauh berbeda. Dua daerah ini punya ratusan sungai yang membelah daratan. Ditambah berjejalnya rawa-rawa lebak yang tersebar di seluruh penjuru kota.

Pengaruh budaya sungai itu memunculkan tradisi turun-temurun di segala aspek kehidupan masyarakat. Tak terkecuali budaya kuliner.

Kemungkinan besar orang Kalimantan telah kenal baik dengan haruan. Bukan hanya cara menangkapnya, tapi juga dari segi manfaat.

Predator itu punya kandungan protein hewani yang tinggi. Mencapai 25,5 persen per 100 gramnya. Melebihi protein daging dan telur ayam. Bagus untuk meningkatkan pertumbuhan tulang dan gigi anak.

Albumin adalah nutrisi paling spesial terdapat di tubuh haruan. Albumin bisa mempercepat pemulihan luka di tubuh manusia. Efeknya pun bisa meningkatkan stamina. Terutama habis operasi. Ini bisa jadi alasan mengapa orang-orang rela merogoh kocek dalam-dalam untuk satu kilogram haruan seharga Rp 70-Rp 80 ribu di pasar.

Kembali ke Warung Nasi Kuning Muara. Aku duduk di barisan depan, di samping etalase kaca transparan, tempat acil menyimpan semua perabotan dan lauk-pauk yang tertata rapi.


Nasi Kuning Muara yang Aduhai
Selain nasi kuning, ada juga jajanan yang lain.


Aku curi-curi pandang saat acil nasi kuning--yang kurasa usianya menginjak 32 tahun--menyediakan pesananku. Dari kejauhan, tangan acil terlihat lincah. Habis mengaut nasi dari dalam termos besar, ia mencomot sesuatu di panci alumunium. Ikan haruan sambal habang ditaruhnya tepat di atas nasi kuning.

Selain memanfaatkan ikan gabus, nasi kuning Banjar, yang sekarang jadi bagian budaya Samarinda juga dikenal publik dengan sambal habangnya. Dua elemen itu--haruan dan sambal habang--jadi pembeda nasi kuning Banjar dengan nasi kuning di daerah lain.

Habang artinya merah dalam bahasa Banjar. Sambal tersebut tidak pedas, malahan cenderung manis. Berbahan dasar lombok besar yang telah dikeringkan dan bijinya dibuang.

Dalam budaya Banjar, sambal habang disejajarkan dengan sajian utama di pesta pernikahan. Aku ingat, saat berusia 9 tahun, membantu Abah dan orang-orang di kampung memasak sambal habang dalam tradisi mengawah.

Adat istiadat yang melambangkan gotong royong ini dilaksanakan empat hari sebelum ijab kabul pamanku.

Bahan-bahan untuk sambal habang telah ditumis para perempuan dari dapur. Terdiri dari lombok yang telah dicincang, lalu bawang merah dan putih, yang sudah dihaluskan.

Mengawah harus dilakukan di ruang terbuka. Abah dan para pria lainnya telah berkumpul di lahan kosong dekat rumah. Mereka telah membuat tumpuan berukuran raksasa untuk rinjing (wajan) yang diameternya sebanding kolam renang anak. Air secukupnya dimasukkan ke dalam alat masak itu.

Abah bertugas mengaduk sambal habang dengan dayung kayu. Kemudian memasukkan asam jawa dan terasi ketika wangi sambal telah menyembul.

Sementara aku bertugas mengumpulkan kayu bakar. Kami semua punya sif kerja. Api kecil di bawah rinjing itu harus tetap berkobar. Makanya mesti dijaga bergantian.

Di hari spesial pamanku, sambal habang yang dibuat keroyokan itu menyempurnakan semua lauk. Ada panci berisi daging dan telur ayam, daging sapi, dan haruan. Semuanya dilumuri sambal habang.

Aku kembali melirik acil di Warung Nasi Kuning Muara. Ia menambahkan serundeng dan mie kuning di bagian pinggir piring. Sentuhan terakhir, ia membubuhkan bawang goreng di atas lauk. Lalu ia berjalan mendekati mejaku, nasi kuning khas Banjar telah mendarat.


Nasi Kuning Muara yang Aduhai
Suasana Warung Nasi Kuning Muara.


Nasinya hangat. Aroma pandannya menyeruak, menembus rongga hidung. Pancaran cahaya lampu membuat wujud nasi kuning itu berkilap.

Aku mulai memotong kecil-kecil haruan yang menunggu dari tadi. Kalau enggak mau ketulangan, daging lembutnya dipisahkan dari tulangnya yang menyerupai duri.

Aku mulai menyuap. Acil muara memang paling tahu cara memasak nasi kuning. Tekstur nasinya pulen. Tak perlu usaha lebih saat dikunyah.

Santan membuat nasinya menjadi gurih. Sementara warna kuningnya yang berasal dari kunyit, membuatku meneguk liur karena lapar.

Nasi kuning telah habis. Masuk ke dalam perut. Aku menempelkan tubuh ke sandaran kursi, merayakan efek gastronomi barang sesaat. Kemudian membayar nasi kuning tadi seharga Rp 20 ribu. (Hna)

Posting Komentar

Posting Komentar