Labuan Cermin adalah secuil surga yang jatuh ke perairan Biduk-Biduk.
***
Labuan
Cermin merupakan destinasi paling uncit yang kami kunjungi. Percikan surga yang
menetes di Biduk-Biduk, Berau, Kalimantan Timur itu digelari danau dua rasa
oleh penduduk setempat.
Labuan Cermin adalah secuil surga yang jatuh ke perairan Biduk-Biduk. |
Bukan tanpa alasan ia dijuluki danau dua rasa. Air yang berada di bagian bawah Labuan Cermin terasa asin, dan hangat. Sementara dari permukaan hingga kedalaman 2 meter, adalah air tawar.
Kedalaman
Labuan Cermin mencapai 9 meter. Saking jernihnya, kamu bisa melihat dasar danau
tersebut.
Nggak
heran wisatawan domestik maupun mancanegara rela merogoh kocek dalam-dalam.
Danau cantik itu jadi simbol kebersamaan keluarga, atau panggung relaksasi
pasca-bercinta: bagi pasangan yang ingin merasakan manisnya bulan madu.
Dari
Tanjung Redeb (pusat pemerintahan Kabupaten Berau), jalan menuju Biduk-Biduk
mengarah ke selatan. Bisa ditempuh jalur darat, dengan estimasi 7-8 jam.
Biar nggak
ribet, aku rangkum aja opsi trip ini, agar selamat sampai di Labuan Cermin.
1. Pilih
tujuan Bandara Maratua
FYI, di
Berau terdapat lebih dari satu bandara. Di antaranya, Bandara Kalimarau
(Tanjung Redeb) dan Bandara Maratua (Pulau Maratua).
Berpose santai di Bandara Maratua. |
Jika memilih opsi ini, bisa ditebak kamu sedang merencanakan vakansi ke gugusan Kepulauan Derawan yang tersohor.
Di telinga
warga dunia, Provinsi Kalimantan Timur dikenal gegara destinasi ini. Nanti deh,
aku cerita tentang indahnya pulau-pulau menakjubkan di Kepulauan Derawan.
2. Lanjut
jalur laut
Kalau
berkunjung ke Berau dipastikan kamu bakal sering naik transportasi laut. Entah
itu keliling santai di Kepulauan Derawan atau langsung mau ke Biduk-Biduk,
monggo.
Waktu di speedboat, suasanya gini ;) |
Jika langsung ke Biduk-Biduk, kamu bisa naik speedboat atau kapal berkapasitas 16 orang. Tersedia di Pelabuhan Maratua. Kamu akan diantar nahkoda kapal menuju Dermaga Teluk Sulaiman, Biduk-Biduk. Kira-kira waktunya 2,5 jam perjalanan, sudah sampai di sana. Lanjut ke Labuan Cermin, deh.
3. Pesawat
dari Samarinda ke Biduk-Biduk
Samarinda
adalah ibukota Kalimantan Timur. Kota ini adalah pusat perekonomian dan
pemerintahan. Nah, bagi kamu yang sedang berkunjung ke Samarinda, entah itu
perjalanan bisnis maupun kantor, main aja ke Labuan Cermin sekalian. Lagi
banyak duit, kan?
Opsi ini
juga berlaku buat warga Samarinda yang ingin pergi berlibur. Dari Bandara Aji
Pangeran Tumenggung (APT) Pranoto Samarinda menempuh waktu sekitar 45 menit
untuk bisa tiba di Bandara Maratua.
Perlu
diingat, penerbangan ke Maratua dari Samarinda cuman 3 kali dalam seminggu.
Jadi, kamu harus sering-sering cek jadwal pesawat!
4. Jalur
darat dari Samarinda ke Biduk-Biduk
Perjalanan
darat dari Kota Tepian (julukan Samarinda) ke Biduk-Biduk berjarak 434,8
kilometer, dengan waktu tempuh sekira 12 jam.
Perjalanan yang harusnya 12 jam, jadi 20 jam gegara truk amblas. |
Dalam perjalanan ini, kamu nggak perlu melewati Tanjung Redeb. Namun sayang, jalannya masih agregat yang kerap dilalui truk pengangkut kelapa sawit. Kalau apes, kamu bisa terjebak sampai 24 jam. Seperti cerita kami yang ini: Tamasya keBiduk-Biduk Naik Pickup (Bagian 1)
Memang
melelahkan, tapi insyaAllah seru.
***
Setelah
membaca opsi-opsi trip ke Biduk-Biduk di atas, aku mendesak kamu supaya
melanjutkan membaca. Karena di bagian bawah, ada sejumpil testimoni bagaimana
rasanya bervakansi di Labuan Cermin.
Btw, aku
sengaja nggak masukin total biaya perjalanan karena lumayan mahal kalau mau ke
Berau. Makanya, kami--Biduk-Biduk Squad--naik pickup dalam perjalanan ke Labuan
Cermin.
***
Kemarin.
Ahad, 27 November 2016. Pukul 06.30 WITA.
Pagi itu,
kami semua telah siap pergi menumpang pickup Emen ke dermaga. Kami harus
menyeberang menggunakan kapal klotok untuk bisa ke Labuan Cermin.
Aku,
Riandi dan Jin Su sudah wangi selepas mandi. Nggak bareng, ya. Sementara
anggota Biduk-Biduk Squad yang lain sengaja nggak mandi, karena berniat
basah-basahan di Labuan Cermin.
Roda-roda
pickup Emen kembali berputar. Jarak tempuh dari penginapan menuju dermaga
sekitar 15 menit. Sesampainya di dermaga, Emon si Penanggung Jawab Tamasya
(PJT) telah melobi empunya kapal. Mereka berdua sepakat dengan harga Rp 700
ribu untuk pulang-pergi.
Itu namanya Fajri. Ia cowok paling cool di Biduk-Biduk Squad. |
Satu per satu kami naik ke atas kapal. Emen paling depan, duduk di haluan kapal. Arus nggak terlalu deras saat kapal yang kami tumpangi mulai mengarung.
Jalan menuju Biduk-Biduk yang memanjakan mata di kiri dan kanan. |
Kendaraan kami sudah memasuki rimbunan mangrove. Yap, Labuan Cermin memang diputari pohon-pohon mangrove, yang menjaga ekosistem laut di sana.
Aku
penasaran, bertanya kepada pengemudi kapal, kenapa dinamakan Labuan Cermin. Ya,
karena air sejernih cermin, ucapnya datar.
Setibanya
di dermaga kecil Labuan Cermin, aku nggak bisa menahan diri untuk bilang wow
berulang kali. Memang benar, permukaan air di danau itu memantul, seakan aku
bisa melihat luasnya langit dari genangan air. Keindahannya memang sebening
cermin.
Suasana di
Labuan Cermin sepi, nggak seramai waterboom. Hanya ada kami dan dua pengunjung
lainnya. Kalau aja nggak ada teriakan kawan-kawan, aku pasti bisa mendengar
orkestra yang dimainkan hewan-hewan penghuni mangrove.
Kami mulai
berenang, meloncat, salto, dan kembali lagi mengulang hal yang sama. Sesaat
kemudian, Irwan terlihat kebingungan karena kacamata snorkeling yang
dikenakannya tenggelam.
Serasa melayang di udara, padahal di perairan Labuan Cermin. |
Pada saat bersamaan kami berlomba, menguji kemampuan menyelam sembari mencari kacamata, yang harganya ditaksir sebesar Rp 900 ribu itu.
Namun
nggak satu pun dari kami yang berhasil berenang sampai ke dasar. Bahkan Emen,
yang katanya jago berenang, yang katanya dikenal di kampungnya sebagai putra
duyung, nggak mampu menyentuh dasar Labuan Cermin.
Bahkan,
aku yang biasa berenang di Sungai Karang Mumus pun nggak mampu menahan nafas di
kedalaman Labuan Cermin.
Juru kunci
di sana, sekaligus pengemudi kapal yang membawa kami ke Labuan Cermin akhirnya
angkat bicara. Dengan sekali tarikan nafas, setelah sebelumnya bertanya titik
koordinat jatuhnya kacamata, ia menyelam.
Sudah saatnya Labuan Cermin, Biduk-Biduk ini dikangenin. |
Selang beberapa detik kemudian dia naik ke permukaan dengan kacamata dengan variasi warna kuning-hitam di genggamannya. Seketika aku percaya, kalau masyarakat Atlantis itu eksis.
***
Ahad, 27
November 2016. Pukul 16.00 WITA.
Tiga hari
menetap di Biduk-Biduk, akhirnya kami dihadapkan reality harus kembali ke
Samarinda dengan rutinitas yang membosankan. Bekerja.
Kami
pulang dengan cara sebelumnya, cuman dengan jalur yang berbeda. Sore hari,
dikala pickup yang kami tumpangi melewati rumah penduduk yang berada di pinggir
pantai, aku dan kawan-kawan setuju untuk singgah di gapura 'Selamat Datang Di Kawasan Wisata Labuan Cermin'.
Berhenti
sejenak, dan mengingatkan kepada diri masing-masing bahwa kami akan kembali ke
secuil surga ini.
Bahkan,
aku sempat berpikir untuk membeli sepetak tanah di sini, di pinggir pantai
berpasir putih dan membangun sebuah rumah agar aku selalu bisa memandang laut
biru yang terhampar luas, di kala senja, di kala sang surya baru menggelar
karpet emasnya. Someday... (hna)
***
Baca juga cerita sebelumnya:
Kejutan Pria Misterius di Biduk-Biduk (Bagian 2)
Perkara Black Nemo di Pulau Kaniungan Kecil (Bagian 3)
Perjalanan ke Air Terjun Bidadari yang Melelahkan (Bagian 4)
2 komentar