![]() |
Hanna pilah-pilih buku saat cuci mata di Gramedia BigMall Samarinda |
Setiap aku pulang kerja, Hanna selalu menunjukkan kata yang dia tulis pada tablet khusus anak-anak (bukan barang elektronik), dan berusaha mengejanya. A-B-I, ABI, kata dia. U-B-I, UBI, tambahnya.
Bengkuring. Mari kita buka diskusi yang hangat ini dengan maklumat: membaca itu adalah kegiatan yang paling malesin di dunia—bahkan di seluruh jagat raya.
Tapi, kenapa aku malah berusaha mengajarkan anak perempuanku, Hanna, yang masih berusia 5 tahun untuk membaca? Padahal Hanna baru kemarin belajar cebok, tiba-tiba disuruh belajar membaca—nggak ada hubungannya sih ini, skip aja.
Jadi begini man-teman Bengkuringnish-ku. Asal pertanyaan filosofis ini muncul karena ada seseorang yang berhasil menemukan smartphone. Harusnya, saat menciptakan teknologi ini, mereka juga memikirkan batasan usia pengguna. Maaf ya, nggak marah kok ini.
Setiap Ahad, rumah kami jadi kayak pasar malam. Suara berisik di sana-sini, lengkap dengan dentuman musik koplo. Soalnya hari itu, jadi satu-satunya kesempatan Hanna main HP sepuasnya.
Kebiasaan Hanna minta main HP ini jadi kecemasan kami. Hanna lekat dengan Avatar World Pazzu, game yang membuatnya lupa waktu. Demi mencegah HP menjadi satu-satunya pusat dunia Hanna, kami memberlakukan jadwal ketat: HP hanya boleh dimainkan pada Hari Minggu. Ada sisi positifnya sih. Dia semakin hafal nama-nama hari, menghitung mundur menuju hari istimewa itu.
Lalu, muncul pertanyaan besar lainnya: kalau HP dibatasi, apa penggantinya? Sebagai orang tua yang ingin hal terbaik bagi anaknya, kami memilih opsi paling klise: membaca buku. Kepikiran cuman ini. Please jangan judge dulu.
Kami membelikan Hanna berbagai jenis buku. Mulai dari buku membaca anak 5 tahun, Iqro bersampul hijau tosca—ada tulisan namanya di sampul itu—buku cerita nabi, jenis-jenis transportasi hingga hewan-hewan. Semua dengan ilustrasi menarik, supaya Hanna tertarik.
Perkembangan Hanna belakangan terakhir sudah lumayan. Dia hafal alfabet dan huruf hijaiyah. Dia bisa mengeja tiga huruf—walaupun baru A sampai F. Sementara bacaan Iqro 1-nya sudah sampai Gho.
Setiap aku pulang kerja, Hanna selalu menunjukkan kata yang dia tulis pada tablet khusus anak-anak (bukan barang elektronik), dan berusaha mengejanya. A-B-I, ABI, kata dia. U-B-I, UBI, tambahnya.
Nah, yang jadi ujian kami (di weekdays), setiap kali HP terlihat di meja, matanya berbinar seperti melihat harta karun. "Sebentar aja, Ayah. Hanna cuman mau lihat rumah Hanna di game," rengeknya. Untungnya, dia masih mau nurut kalau diminta berhenti.
Gegara ini, aku jadi berpikir keras. (1) kenapa harus buku yang jadi solusi? Terus, (2) kenapa literasi membaca itu penting? (3) Kenapa juga, kita harus larang anak jangan sering-sering main HP? (4) Perkara nomor 1 dan 2 memunculkan pertanyaan nomor (5) kalau ternyata buku berhasil melepaskan anak dari ketergantungan main HP, dan malah kecanduan membaca, merengek minta dibelikan buku setiap satu bulan sekali, sementara harga buku sekarang mahal-mahal, orang tua harus irit dengan gaji di bawah UMP, apakah itu bagus, atau nggak?
Mari kita urai satu per satu. (Hna)
Bersambung... (bagian 2 baca di sini)
Posting Komentar