R7ZiNLx3KC2qKMr3lC8fGnzuEqDGM1kXB8IvxLhQ
Bookmark

Cara Menjadikan Buku Lebih Menarik dari Gadget Bagian 2

Tips parenting untuk mengenalkan literasi membaca pada anak 5 tahun agar lebih tertarik buku daripada gadget. Simak cara efektifnya di sini!
Buku cerita sahabat nabi, kesukaan Hanna.

Tugas orang tua? Jadi "waiters buku," yang menyajikan cerita dengan ekspresi, suara, dan bahkan sedikit drama.

Bengkuring. Membaca itu lebih sulit daripada menulis blog soal parenting. Bayangkan, mata harus menangkap huruf-huruf yang berjajar rapi, otak mengolahnya menjadi makna, ditambah lagi ada visualisasi, logika, psikolinguistik, dan metakognitif. Ribet banget, kan?

Semakin ke sini, aku mulai bertanya-tanya: apakah langkahku sudah benar mengenalkan literasi membaca pada Hanna agar perhatiannya bisa teralihkan dari telepon pintar, televisi pintar, dan semua teknologi lain yang lebih pintar dari kita?


Gadget adalah magnet yang kuat

Anak tertarik dengan HP karena, yah, kita juga begitu. Di rumah, di luar rumah, di mana-mana, orang dewasa sibuk menatap layar. HP jadi solusi instan: anak rewel? Kasih HP. Butuh me-time? Kasih HP lagi. Lama-lama, layar kecil itu jadi candu.

Gadget punya kelebihan 1.000 kali lipat dari televisi. Mulai dari efek audio-visual menarik hingga mudahnya mencari konten yang sesuai dengan selera.

Ukuran mungil, bisa dinikmati sambil digenggam, membuat layar HP seperti black hole. Anak 5 tahun bisa tersedot berjam-jam tanpa sadar waktu. Dan, efeknya nggak main-main: kurang fokus, kesulitan tidur, bahkan ada penelitian yang bilang itu bisa mempengaruhi perkembangan otak anak.

Tapi, kalau kita bisa sadar betapa kuat daya tarik gadget, kenapa tidak mencoba menghadirkan daya tarik yang sama pada buku?


Mulai kenalkan anak dengan buku cerita bergambar

Di rumah, kami berusaha membatasi penggunaan HP untuk Hanna. Tentu saja, ini tidak mudah. Makanya, kami mencari cara agar buku bisa bersaing dengan gadget.

Buku tidak bisa hanya sekadar hadir. Buku harus jadi pengalaman yang menyenangkan. Itulah kenapa kami memilih buku cerita bergambar. Buku ini seperti menu restoran—ada gambar menarik, deskripsi singkat, dan bisa langsung dibayangkan isinya. Tugas orang tua? Jadi "waiters buku," yang menyajikan cerita dengan ekspresi, suara, dan bahkan sedikit drama.

Lewat buku cerita bergambar, kegiatan membaca bisa dilakukan bersama. Sambil bercanda, sambil ngemil, sambil ceritain tetangga, dan sebagainya. Intinya aku tetap bisa berinteraksi dengan Hanna.

Anak usia lima tahun adalah seniman visual terbaik. Mereka baca buku tentang kucing, tapi di kepala mereka, si kucing lagi naik jet tempur. Ini keunikan mereka. Dunia kata menjadi taman bermain, bukan teka-teki silang yang bikin pusing seperti Angels & Demons-nya Dan Brown.


Triknya: orang tua harus jatuh cinta pada buku

Anak-anak adalah peniru ulung. Kalau kita ingin mereka tertarik membaca, kita sendiri harus lebih dulu menunjukkan bahwa membaca itu menyenangkan. Sulit? Banget. Tapi kalau kita masih lebih sibuk dengan HP, jangan heran kalau anak juga begitu.

Sampai di sini aku kian paham, tantangannya bukan sekadar membuat anak suka membaca. Tapi bagaimana kita sendiri bisa menunjukkan kalau buku itu lebih menarik daripada sekadar scrolling layar.

Akhirnya, ini membawa kita ke diskusi berikutnya: kenapa literasi membaca itu penting? (Hna)

Bersambung (bagian 3 baca di sini)

Posting Komentar

Posting Komentar